Tenaga
air telah dimanfaatkan orang-orang zaman dahulu terutama untuk menumbuk gandum
atau dimanfaatkan keperluan lainnya. Baru pada pertengahan 1770-an, insinyur
Perancis, Bernard Forest de Belidor, mempublikasikan buku yang berjudul
Architecture Hydraulique. oleh Deda Permana Hydropower lebih dikenal di
Indonesia dengan sebutan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Pembangkit
tersebut menghasilkan tenaga listrik dengan menfaatkan kekuatan gravitasi dari
air terjun atau arus air.
PLTA
ini termasuk bentuk energi terbarukan (renewable energy) yang digunakan secara
luas. Dibandingkan pembangkit listrik tipe lain, PLTA tergolong pembangkit yang
tidak menghasilkan limbah secara langsung. Kelebihan lain adalah level emisi
gas rumah kaca karbondioksida (CO2) dari PLTA yang sangat rendah dibandingkan
dengan pembangkit yang menggunakan bahan bakar dari fosil. Dengan besarnya
keuntungan tersebut, banyak negara membangun PLTA untuk memenuhi kebutuhan
listrik mereka. Data 2006 menunjukkan bahwa kapasitas PLTA yang tersebar di
seluruh dunia idengan 777 GWe telah mampu memasok 2.998 TWh. Artinya, hampir
20% kebutuhan listrik dunia berasal dari
PLTA atau sekitar 88% sumber energi terbarukan berasal dari pemanfaatan
tenaga air. Namun sejumlah pertanyaan muncul, sejak kapan sebenarnya PLTA itu
berdiri? Tenaga air telah dimanfaatkan orang-orang kuno terutama untuk menumbuk
gandum atau dimanfaatkan keperluan lainnya. Tetapi pada pertengahan 1770-an, seorang insinyur Perancis, Bernard
Forest de Belidor, memublikasikan buku yang berjudul Architecture Hydraulique.
Dalam buku itu, dia menjelaskan tentang mesin hidrolik aksis vertikal dan
horizontal.
Selanjutnya
pada abab ke-19, ge¬nerator elektrik dikembangkan dan kini dikombinasikan
dengan mesin hidrolik. Permintaan meningkat seiring Revolusi Industri yang
mendorong pembangunan. Tepat pada 1878, untuk pertama kalinya di dunia dibangun
rumah pembangkit hydroelectricity dengan nama Cragside di Northumberland,
Inggris. Tiga tahun kemudian atau tepatnya pada 1881, pusat Pembangkit Listrik
Tenaga Air, Schoelkopf Power Station No 1 dekat Niagara Falls, Amerika Serikat
(AS). Setelah itu, beberapa PLTA dibangun. Pembangkit listrik hidroelektrik
Edison atau diberi nama Vulcan Street Plant beroperasi pada 30 September 1882
dengan kapasitas 12,5 kilowatt di Appleton, Winconsin, AS. Sampai 1886,
sebanyak 45 Pembangkit Listrik Tenaga Air dibangun di AS dan Kanada. Bahkan memasuki 1889, PLTA tumbuh dengan
cepat dan saat itu AS memiliki 200 PLTA.
Pada
awal abad ke-20, banyak PLTA skala kecil dibangun perusahaan komersial di
daerah pegunungan dekat area metropolitan. Kota Grenoble, Prancis pun untuk
pertama kalinya menggelar pameran bertajuk ‘International Exhibition of
Hydropower and Tourism’ yang didatangi jutaan pengunjung. Selanjutnya, pada 1920,
sebanyak 40% pembangkit di AS merupakan PLTA hingga mendorong pemerintah
membuat Federal Power Act yang dijadikan undang-undang dan dasar hukum.
Federal
Power Act mengatur pembentukan Komisi Pembangkit Federal yang bertugas mengatur
PLTA di sumber air dan tanah negara bagian. Ketika skala PLTA kian besar,
bendungan dari pembangkit dikembangkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
listrik, tetapi termasuk mengendalikan banjir, irigasi, dan navigasi. Seiring
dengan begitu bermanfaatnya PLTA untuk memenuhi bermacam kebutuhan, pemerintah
negara bagian pun menggelontorkan anggaran untuk pembangunan PLTA skala besar
dan PLTA dimiliki pemerintah. Pada 1933, dibangun PLTA Tennessee Valley
Authorty dan Bonneville Power Administration pada 1937. Taganya itu, Biro
Reklamasi AS yang bertanggung jawab terhadap irigasi wilayah barat AS juga
membangun PLTA besar pada 1928 dengan nama Hoover Dam (Bendungan Hoover). Para
insinyur dari Korps Angkatan Darat AS juga terlibat dalam pengembengan PLTA
dengan turut mendukung penuntasan pembangunan Bendungan Bonneville pada 1937
yang sebelum dikenal sebagai pusat pengendali banjir utama. Pengembangan PLTA
terus berlanjut sepanjang abad ke-20. Bahkan sebutan hydropower diberi nama
white coal (batu bara putih) karena sebelumnya banyak pembangkit listrik yang
mengandalkan bahan baku batu bara. Tepat pada 1936, PLTA Bendungan Hoover
dengan kapasitas 1.345 MW menjadi PLTA pertama terbesar di dunia. Memasuki 1942
dibangun PLTA Grand Coulee Dam dengan
kapasitas lebih besar atau 6809 MW.
Pengembangan
PLTA terus merambah ke benua lain dan masuk ke benua Afrika. Pada 1984,
pemerintah Afrika Selatan meresmikan PLTA Bendungan Itaipu dan menghasilkan
14.000 MW. Namun ‘Negara Tirai Bambu’
membuat kejutan pada 2008 dengan meresmikan PLTA Bendungan Three Gorges dengan
kapasitas 22.500 MW. Sejak itu, sejumlah negara seperti Norwegia, Republik
Demokrasi Kongo, Paraguay, dan Brazil juga mengembangkan PLTA yang mampu
memenuhi kebutuhan listrik di negara mereka hingga 85%. Sejarah PLTA di Tanah Air
dimulia pada 1917, Biro Tenaga Air (Waterkraht burean) di bawah Jawatan Perkeretaapian Negara (Steratz
foorwegen) dari perusahaan negara (Gouvemementsbedrijven) diubah kedudukannya
menjadi Jawatan Tenaga Air dan Listrik (Dienstvoor Waterkracht in Electriciteit).
Dengan begitu, jawatan tersebut mulai bergerak dalam pengembangan kelistrikan
hingga penggunaan secara ekonomis dari sumber-sumber tenaga air tersedia.
Jawatan
tersebut tak hanya mengurus pemberian
lisensi-lisensi untuk tenaga air dan listrik, tetapi juga mengawasi pula
kesamaan instalasi - instalasi listrik di seluruh Indonesia. Pada 1906,
PLTA Pakar dengan sumber air dari sungai
Cikapundung dengan kekuatan 800 KW diresmikan. PLTA tersebut dikelola
Maskapai listrik Bandung (Bandungte Electriciteits Masatsehappij) dan dapat
dianggap sebagai pengolahan pertama untuk pemberian energi listrik dengan
penggunaan tenaga air.
Pada
1920 didirikan Perusahaan Listrik Umum Bandung sekitarnya
(Electriciteitsbederjif Bandung en omstreken, singkatnya GEBEO), dengan modal
dari pemerintah dan swasta. Kemudian, maskapai tersebut ambil alih PLTA Pakar
di Bandung dan PLTA Cijedil (2x174 KW dan 2x220 KW) di Cianjur. Selanjutnya
bekerjasama dengan perusahaan listrik negara untuk memasok listrik kepada
masyarakat. Direksi bagian swasta dipegang oleh perusahaan swasta NV Maintz
& Co. Pada 1934, Dienstvoor Waterkraht an Electriciteit diubah menjadi
Electriciteitswezen (Kelistrikan) singkatnya E.W.
Perusahaan
Tenaga Air Ne¬ga¬ra Da¬¬¬ta¬¬ran Tinggi Bandung (Landiswaterkrachtbedijf
Bandung en) mempunyai dua grup PLTA-PLTA, yaitu Bengkok (3x1050 KW) dan Dago
(1x 700KW) pada 1923 dengan menggunakan sumber air dari Sungai Cikapundung,
selanjutnya Plengan (3x1050 KW (1923),
ditambah 2000 KW (1962) dan Lamajan dengan kapasitas 2x6400 KW (1924), dan ditambah 6400 KW pada 1933 dengan sumber air
Sungai Cisangkuy dan Cisarua. Sebagai
cadangan air untuk musin kemarau dibangun situ Cileunca (9,89 Juta M3 air)
pada 1922 dan Cipanunjang (21,8 Juta M3
air) pada 1930. Untuk mencapai jumlah banyaknya air seperti tersebut, maka bendungan Pulo, Playangan dan Cipanunjang' dipertinggi
pada 1940, sedangkan situ-situnya mendapat tambahan air dari sungai-sungai sekitarnya.
Dari PLTA Plengan dibangun jalur transmisi 30 KV sepanjang 80 Km ke GI-GI
Sumadra, Garut dan Singaparna untuk menghantarkan tenaga listrik ke bagian
Priangan Timur. Selanjutnya dari GI Kiaracondong dibangun jalur transmisi 30 KV
ke GI Rancaekek hingga Sumedang ke Priangan Utara - Timur dan kemudian hingga
PLTA Parakan. Kini tegangan Sumedang - Parakan sudah menjadi 70 KV. Dari PLTA
Lamajan pada 1928 dibangun jalur transmisi 30 KV (kemudian 70 KV) ke GI
Padalarang, Purwakarta dan Kosambi untuk daerah Priangan Barat dan pada tahun
1966 dari Kosambi ke Cawang. Di tahun 1920 dibangun PLTU Dayeuhkolot (2x750 KW)
untuk keperluan pemancar radio ke luar negeri, namun pada 1940 dibongkar dan
kemudian menjadi PLTD Dayeuhkolot (2x550 KW). Kini seluruhnya telah tiada dan
bangunan menjadi GI Dayeuhkolot, gudang, dan bengkel Dayeuhkolot yang sudah ada
duluan. Pada 1928 dibangun Central Electriciteit Laboratorium, singkat CEL di
komplek Sekolah Tinggi Tinggi (Technische Hooge School), yang meliputi
pekerjaan testing dan perbaikan peralatan listrik. Kini CEL telah diserahkan
kepada Institut Tehnologi Bandung (ITB ). Pada 1962 beroperasi PLTA Cikalong (3
x 6400 KW) bekerja paralel dengan PLTA-PLTA yang telah ada. Kini Sektor
Priangan mempunyai 4 Gardu Induk utama yaitu: GI North di Utara, GI Cigereleng
di Selatan, GI Cibeurem di Barat dan GI Sukamiskin di Timur.
Sektor
Cirebon Berhubungan dengan rencana pembangunan PLTA Parakan (4x2500KW) di tahun
1939 didirikan Perusahaan Tenaga Air Negara Cirebon (Lanbswaterkrachtbedrijf
Cirebon). Kota Cirebon dan sekitarnya dahulu mendapat energi listrik dari PLTD
Kebonbaru kepunyaan maskapai Gas Hindia Belanda (Nederland Indische Gas
Maatsekapij, singkatnya N.I.E.M). Setelah PLTA Parakan beroperasi di tahun
1957, maka PLTD Kebonbaru praktis bersifat standby. Kini di Sektor Cirebon pada
tahun 1982 beroperasi PLTG Sunyaragi (2x25,125 KW). Perusahaan Tenaga Air
Negara Jawa Barat Perusahaan ini mempunyai PLTA Ubrug (2x5400 KW) di tahun 1924
ditambah dengan 1x6300 KW di tahun lima puluhan dan PLTA Kracak (2x5500 KW) di
tahun 1929, kemudian ditambah dengan 1x5500 KW. Kedua PLTA tersebut dengan
peran¬taraan transmisi 70 kV dihubungkan bersama ke GI di Bogor dan dari sini
dihantarkan dengan lin transmisi 70 kV ke Jakarta dengan GI-GI Cawang, Muster
Cornelis (Jatinegara), Weltercoler (Gambir), dan Ancol. PLTU Gambir di pinggir
kali Ciliwung adalah kepunyaan Maskapai Gas Hindia Belanda (NIGM) dan merupakan
sentral uap pertama yang dibangun tahun 1897 untuk Jakarta dan sekitarnya. Pada
1931, sentral uap tersebut (3200 + 3000
+ 1350 KW) diambil alih dan kini tidak ada lagi. Dari PLTA Ubrug pada 1926
dibangun jalur transmisi 30 KV ke GI Lembursitu sepanjang 16 km untuk Sukabumi
dan sekitarnya. Dari PLTA Kracak pada 1931 dibangun jalur transmisi 30 kV
sepanjang 57 km untuk Rangkasbitung dan sekitarnya. PLTA Ubrug dan PLTA Kracak
kini termasuk Sektor Bogor yang didirikan di tahun 1946. Sentral-sentral
tambahan setelah perang dunia II, adalah PLTD Karet (12x1000 KW), PLTD Ancol
(12x1000 KW), yang dua-duanya tak beroperasi lagi karena rusak, selanjutnya
PLTD Senayan (8x2500 KW), yang sebagian mesin-mesinnya telah rusak dan sisanya
selalu stand by, tahun 1961 PLTU Priok (2x25 + 2x50 MW) tahun 1962, PLTU Muara
karang dan PLTG Pulo Gadung yang masing-masing beroperasi penuh. PLTA Jatiluhur
(6 x 25 MW) pada 1964 yang mempunyai status otorita, memberi energi listrik via
jalur transmisi 150 kV ke Bagian Timur dengan GI Cigereleng dan via lin
transmisi 150 kV ke Bagian Barat dengan GI Cawang. Kemudian PLTA Saguling (4 x
175 MW) yang beroperasi pada 1986.
Dikutip
Dari : Majalah Listrik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar